Sabtu, 13 Agustus 2016

Damai dalam Pertentangan

Oleh KH. Abdurrahman Wahid

Memang ironis kalau simbol lebih dikenal dari kenyataan. Tapi itulah yang terjadi di Tokyo bulan lalu, April 1983. Film Gandhi, yang baru saja memenangkan delapan Oscar di Hollywood, diputar serentak di sekian bioskop. Karcis dibeli berebutan . Masyarakat Jepang rupanya disentuh nuraninya oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa kekerasan.

Namun sebuah kejadian lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir tidak memperoleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano untuk perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu pertama kali di berikan.

Hadiah Niwano rencananya akan dikeluarkan tiap tahun oleh Yayasan Perdamaian Niwano, salah satu lembaga yang berasal dari gerakan kaum Budhis terbesar di Jepang, Rissbo-Kosei-Kai. Di samping memberikan hadiah untuk prestasi terbaik dalam menumbuhkan saling pengertian antar agama dan memajukan perdamaian, yayasan itu juga menjadi sponsor Konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (World Conference on Peace and Religion) yang sudah berlangsung tiga kali sampai saat ini.

Dan hadiah Niwano justru punya arti penting oleh pemilihan pemenangnya yang pertama kali ini: Uskup Agung Olinda-Recife, Brazilia, Helder Pessoa Camara, yang oleh penggemarnya disebut Dom Helder. Ialah \"uskup merah\". Yang berarti, hadiah perdamaian itu diberikan berdasar pertimbangan yang tidak konvensional tentang ‘perdamaian\' itu sendiri. Ini menjadi jelas bila bentuk penghargaan baru itu dibandingkan dengan Hadiah Nobel untuk perdamaian.

‘Perdamaian\', dalam Hadiah Nobel, mengandung arti menghindarkan , melerai, mengurangi atau menyelesaikan konflik. Konfliknyapun tidak dibatasi, baik terorisme bersenjata di Irlandia Utara maupun pertentangan politik seperti sengketa Arab-Israel. Tidak heran kalau dari pejuang palang merah sampai pejabat pemertintah dapat meraih penghargaan itu ( Sadat dan Begin, misalnya ). Juga pejuang kemanusiaan dalam arti umum seperti Albert Schweitzer yang bergulat dengan penyakit Lepra di Afrika Hitam, atau suster Marie Therese yang mengurusi kaum melarat di Calcutta, India.

Dalam wawasan serba konvensional itu yang ditinggalkan Yayasan Niwano, setidaknya tahun ini. ‘Uskup Merah\' Dom Helder tidak akan memperoleh julukan julukan merah kalau ia menghindar dari konflik. Yang dilakukannya justru mendorong berlangsungnya perlawanan terhadap kekuasaan militer yang menindas rakyat dan struktur yang timpang, di negaranya sendiri maupun di seluruh Amerika Latin umumnya.

Hanya saja perlawanan yang diserukan dan ditunjangnya bukan perlawanan bersenjata, apalagi terorisme. Dan disini ia memenuhi kedua Krieria Yayasan Niwano: memajukan perdamaian dan sekaligus mengembangkan saling pengertian antar agama. Dan caranya dianggap unik.
Bermula dari keyakinan akan kebenaran moralitas yang bersandar pada rasa kasih sayang, ia menghimbau kalangan rohaniawan agamanya sendiri untuk menegakkan masyarakat baru yang tidak diwarnai penindasan. Upaya menghilangkan penindasan berarti kesediaan untuk turut menegakkan struktur ekonomi yang adil - yang bebas dari ekploitasi kalangan yang oleh Dom Helder di sebut ‘mereka yang memiliki uang\', alias kaum modal. Kalau pemerintah, dan kekuasaan yang ada, mengukuhkan struktur eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan alternatif mereka di bawah swadaya masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan, membebaskan dari kungkungan hukum yang tidak adil dan memperjuangkan hak-hak asasi.

Petani didorong berani mengambil inisiatif dan memulai perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, alias Landreform. Dilanjutkan dengan membentuk usaha prakooperatif. Kaum buruh di kota didorong berani menuntut hak mereka dari pihak majikan- kalau perlu dengan pemogokan. Generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik sepenuhnya, kalau perlu dengan demonstrasi. Dan kalangan Intelektual diminta mempelopori jaringan pendidikan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan golongan miskin ; penyadaran akan keberadaan mereka dan kemampuan yang mereka miliki untuk mengubah nasib.

Sikap seperti itu, menurut kacamata Uskup Agung Helder Camara, adalah inti perdamaian. Itulah upaya menegakkan masyarakat yang benar-benar adil. Hanya saja upaya tersebut dilakukan tidak dengan merobohkan sistem kekuasaan yang ada, melainkan mengubahnya berangsur-angsur.. Tindak kekerasan dari pemegang kekuasaan harus dihadapi dengan sikap menentang bentuk kekerasan itu sendiri. Disini bertemulah sikap menjunjung tinggi perdamaian (tanpa mengurangi sedikit pun kewajibang menentang struktur masyarakat yang timpang ) di satu pihak dan sikap mengembangkan saling pengertian antar agama di pihak lain.

Dom Helder memang secara terbuka ‘meminjam\' cara-cara yang dikembangkan agama lain. Yaitu dari perjuangan Mahatma Gandhi di lingkungan agama Hindu dan Martin Luther King di kalangan agama Protestan. Gandhi memperjuangkan kemerdekaan India, sedangkan King memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam di Amerika Serikat, namun keteguhan mereka untuk berjuang secara militan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang secara universal dapat dilakukan kalangan mana pun termasuk kalangan Katholik Amerika Latin - mungkin demikian jalan pikiran Helder . Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?

Banyak yang dapat diambil dari kiprah menegakkan perdamaian di tengah pertentangan, dan saling pengertian di tengah perbedaan ajaana dan paham. Relevankah pelajaran itu bagi kita ? Kita sendiri sudah tentu tahu jawabannya - walaupun aneh juga bahwa dari Indonesia datang pencalonan untuk hadiah tersebut, yang mengusulkan seorang jendral. Konsepnya tentang perdamaian tentu lain lagi.

(Sumber: TEMPO, 21 Mei 1983)

Jumat, 05 Agustus 2016

Kasus Pembunuhan Marno

Kasus Pembunuhan Marno

     Ibu kota heboh. Seseorang meninggal di sungai dengan luka tusukan di lambungnya. Tak jauh dari tempat ditemukan jasad Marno, nama korban tersebut, ditemukan tas dan alat pancing. Sepertinya korban dibunuh saat memancing.
     Di ponsel korban, polisi menemukan sms dari Jesse yang mengajak Marno memancing bersama. Beberapa saksi pun melihat Jesse berjalan bersama Marno ke sungai membawa alat pancing.
     Akhirnya Jesse dibawa ke persidangan. Tapi Jesse dan pengacaranya menolak tuduhan tersebut karena merasa alat buktinya kurang.
     Di persidangan, Ota Hasibaon pengacara Jesse mementahkan semua tuduhan. Jaksa mengajukan ponsel Marno yang berisi sms Jesse. Pengacara Ota membela,
     " Yang mulia hakim, ponsel Jesse dicuri orang. Sepertinya pencurinya yang mengirim sms itu."
     Semua orang terdiam. Terdengar bisik-bisik," Sepertinya Jesse dijebak. Sungguh kasihan dia. Pencuri ponselnya harus dicari."
     "Itu betul. Lihat Jesse, tampangnya kalem dan baik. Tidak mungkin dia bertindak jahat", timpal yang lain.
     Lalu jaksa mengajukan 4 saksi yang mengaku melihat Jesse berjalan bersama Marno ke sungai.
Pengacara Ota mengajukan pembelaannya,
     "Yang mulia hakim, saksi yang dihadirkan tidak meyakinkan. Satu orang saksi masih di bawah umur, tidak bisa dipercaya. Satu orang lagi sudah tua, saya yakin matanya sudah tidak jelas, tidak bisa membedakan siapa yang dilihatnya. Sementara dua orang lainnya punya tato, mereka ini sepertinya preman. Saat saya menanyai mereka, mereka sempat mengaku dibayar 140 juta oleh pacar korban untuk membunuh Marno".
     Orang-orang gempar. "Wah, Arifah pacar Marno harus diperiksa nih".
     "Kasihan Jesse sudah difitnah. Dia harus segera dibebaskan".
      Demikian suara pengunjung persidangan mengutarakan pikiran mereka.
     Pengacara Ota melanjutkan pembelaannya, " Yang mulia hakim, tidak ada saksi yang melihat saat Marno ditusuk. Bahkan sampai sekarang senjata yang digunakan untuk membunuh Marno tidak ditemukan. Maka dari itu hendaknya Jesse segera dibebaskan".
     Akhirnya setelah beberapa waktu berpikir, hakim pun memutuskan.
     "Sebagaimana kita tahu, kita tidak boleh menghukum yang tidak bersalah. Apalagi bukti-bukti di kasus ini tidak cukup kuat. Tidak ada saksi yang melihat saat Marno ditusuk, dan senjata yang digunakan juga tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu Jesse dibebaskan. Biarlah Tuhan yang menghukum penjahatnya".
     Semua orang bertepuk tangan gembira menyambut keputusan itu.
     Sejak kejadian itu, terjadi lagi penemuan korban pembunuhan di sungai dengan luka tusuk di lambung. Namun orang-orang sudah tidak terlalu peduli dengan hal itu. Toh Tuhan yang akan menghukum penjahatnya. Hanya saja penambang pasir sungai merasa heran, karena sering menemukan pisau di dasar sungai.

Selasa, 02 Agustus 2016

Obyektif atau Subyektif? Sebuah Pengantar untuk Berpikir dan Berdialog Secara Benar dan Adil. Mata Najwa vs ILC

Keobyektifan dalam menilai sesuatu menjadi dasar keadilan. Obyektif dimaknai sebagai menilai sesuatu secara apa adanya tanpa tendensi personal terutama suka/tidak. Sementara subyektif dimaknai sebaliknya, menilai suatu hal sesuai selera. Problemnya, bagaimana membedakannya sementara setiap orang sedikit banyak punya penilaian pribadi.

Ada kejadian yang membuatku menyadari dilema untuk membedakan keduanya. Ada seseorang di twitter membahas berbahayanya keberpihakan media dalam urusan politik. Apalagi sekarang beberapa media dikuasai elit partai. Lalu kukatakan, Mata Najwa masih obyektif daripada ILC yg jelas2 tendensius. Saat mengklik tombol send, tiba2 aku sadar kalau aku akan dituduh subyektif. Dan benar saja, beberapa akun menertawakanku sebagai partisan.

Lalu aku menyimpulkan satu hal. Jika ada 2 hal yg bertentangan, ada orang yang beranggapan bahwa obyektif dan adil adalah tidak membela keduanya. Sebuah prinsip yg "sesat".

Balik lagi ke problem, bagaimana menentukan antara Mata Najwa dan ILC yang tidak obyektif? Tentu saja kita (dalam hal ini saya) menggunakan beberapa poin penilaian.
Beberapa poin saya adalah :
1. Tema yang diangkat.
Kita bisa menilai sebuah isu akan berpengaruh positif atau negatif terhadap seseorang atau institusi. ILC kuberi nilai negatif karena selalu mengangkat topik yang menyerang tokoh (yang sudah diketahui umum sebagai musuh). Mata Najwa kuberi nilai netral (bukan positif) karena mengangkat tema yang cenderung bebas tapi kadang mengabaikan topik terhangat (dan bisa diartikan menghindari topik negatif???).
2. Pemilihan narsum
Selain mendatangkan narsum dari dua sisi yang berseberangan, kualitas narsum juga perlu dilihat.
3. Sikap pembawa acara (MC)
Bisa dilihat dari pertanyaan diajukan, lalu sikap dari MC atas narsum. Apakah MC menanyakan pertanyaan yang menjebak? Apakah MC suka memotong omongan narsum? Apakah MC memberikan waktu yang sama untuk narsum menjawab?
Untuk poin 2 dan 3 saya memberi nilai positif untuk Mata Najwa dan negatif untuk ILC.

Lalu ada dilema selanjutnya. Apakah dasar penilaian seseorang (dalam hal ini saya) benar2 tidak memihak? Saya lalu menyadari bahwa " kualitas seseorang " itu abstrak. Seseorang bisa berdalih, bagaimana cara mengukur bahwa pertanyaan itu menjebak atau tidak? Hal yang jelas namun abstrak. Di sini saya kesulitan dan hanya bisa menjawab : kualitas otak. Mungkin ada yang bisa membantu menjawab hal ini?

Btw, pemilihan contoh di atas (Mata Najwa vs ILC) sangat pas mewakili topik ini. Saya yakin (ini subyektif ) kalau ini menggambarkan dengan baik dilema menentukan obyektif vs subyektif. Antara yang partisan, takut dicap partisan, atau bingung menentukan opini.

Discuss